Merdeka Belajar ala Paulo Freire


Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kedua, publik dihebohkan dengan munculnya Nadiem Makarim di Kementerian yang sebelumnya merupakan CEO Gojek. Tepatnya, Nadiem diamanahi menjadi Mendikbud (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Sontak, dunia pendidikan Indonesia geger. Apakah keputusan ini sudah benar-benar tepat? Melihat, Eks CEO Gojek ini tidak punya latar belakang di bidang pendidikan. Walaupun begitu, Nadiem menunjukkan kebolehannya bahkan sejak awal masa kepemimpinan. Salah satu istilah yang sering digaungkan adalah serangkaian program yang dinamakan Merdeka Belajar.

Murid harus diberi kebebasan dalam mengakses sumber ilmu merupakan salah satu inti sari dari Merdeka Belajar. Tidak hanya dari ‘fatwa-fatwa’ yang diujarkan langsung oleh guru, tetapi murid juga harus belajar melalui banyak sumber lainnya. Guru pun juga dituntut menjadi seorang yang kreatif dan dapat menjadikan siswa sebagai manusia yang merdeka. Merdeka tidak hanya dalam memilih sumber belajar, namun juga merdeka dalam menyampaikan gagasan cemerlangnya.

Walaupun hal ini terkesan segar, tetapi slogan Merdeka Belajar yang digaungkan oleh Mas Menteri sebenarnya mengadopsi dari slogan Sekolah Cikal. Bahkan, konsep Merdeka Belajar sendiri dalam artian pendidikan memang bertujuan untuk memerdekakan atau membebaskan manusia dari belenggu-belenggu sosial sudah diutarakan oleh Paulo Freire hampir seabad yang lalu. Freire muda sudah berlalu-lalang di berbagai penjuru dunia sampai menjadi buronan dan tahanan dalam memperjuangkan ‘Merdeka Belajar’.

Menjabarkan pemikiran Freire di dunia pendidikan sepanjang satu halaman memang mustahil. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kemerdekaan dalam belajar, ada beberapa poin penting yang bisa dipetik dari pemikiran Paulo Freire. Poin-poin ini selain saya dapatkan melalui buku terjemahannya langsung yakni Pendidikan Kaum Tertindas, juga bersumber dari Ngaji Filsafat-nya Pak Fahruddin Faiz di MJS Channel saat membahas Filsafat Pendidikan. 

Poin yang pertama yakni pendidikan yang ideal harus humanis dan bersifat dialogis. Humanis dalam artian memperlakukan murid sebagai manusia seutuhnya. Jika kita refleksikan dengan kondisi saat ini, mayoritas (setidaknya yang saya amati dan alami) hubungan guru dan murid masih sebatas subjek dan objek. Guru hanya menyodorkan pernyataan-pernyataan, lalu murid menerima, mencatat, dan mengumpulkan informasi yang ada. Akibatnya, pendidikan ideal yang menuntut adanya dialog juga jarang tercipta. Manusia yang termanifestasikan dalam diri murid direduksi perannya tak ubahnya seperti benda yang bersifat mekanis.

Di karya-karyanya, Freire menyebutkan hubungan guru dan murid yang bersifat subjek-objek itu sebagai pendidikan model bank. Murid seperti sebuah celengan yang hanya berdiam diri ketika dimasukkan secarik uang. Tanpa protes apa pun karena celengan hanyalah sebuah benda. Akibatnya, pendidikan yang ada hanya sebatas pengalihan informasi. Jika fungsi pendidikan hanya sebatas itu, murid tidak perlu guru. Cukup mengalihkan secara otodidak informasi yang ada di internet saja.

Sedangkan poin yang kedua yakni pendidikan seharusnya bisa menyadarkan manusia akan keadaannya. Dalam konteks ini, Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan yang ideal harus bisa menyadarkan lalu membebaskan manusia dari kondisi yang tertindas. Tidak hanya membebaskan orang-orang yang tertindas, namun sang penindas juga agar tidak terjadi regenerasi penindasan di masa-masa berikutnya.

Bentuk dari kondisi tertindas jika diterjemahkan juga bisa bermacam-macam. Ketidakberdayaan dan kemiskinan merupakan dua di antara kondisi tertindas yang dapat kita lihat dalam realitas sehari-hari. Melalui Merdeka Belajar, diharapkan manusia menemukan jalan optimisme untuk keluar dari jurang ketertindasan. Bukan untuk melakukan balas dendam dengan menjadi penindas selanjutnya (ini sering terjadi), namun menjadi manusia yang mendobrak dan membenahi sistem yang ada.

Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, pendidikan dalam konsep Merdeka Belajarnya Paulo Freire harus relevan dengan realitas yang sedang kita jalani. Jadi, pendidikan yang kita tempuh sebisa mungkin harus menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendukung kondisi yang sedang dijalani. Jangan sampai pendidikan dan kehidupan sehari-hari kita berseberangan. Seolah-olah, kita di kampus dan di indekos sambil menyantap Indomie merupakan manusia yang berbeda.

Poin-poin tersebut merupakan permukaannya saja dari pemikiran besar seorang Paulo Freire. Dalam mengatasi pendidikan yang belum memenuhi ketiga poin di atas, Freire menyodorkan sebuah metode yang bernama Problem Posing Education atau Pendidikan Hadap Masalah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Metode ini menekankan bahwa manusia yang harus menjadi titik tolak dalam merumuskan sebuah pendidikan. Artinya, pendidikan harus disesuaikan dengan realitas yang dialami manusia. Jangan sampai pendidikan hanya berputar-putar dalam teori namun tidak berkontribusi dalam pembebasan manusia menuju kemerdekaan diri seutuhnya.

Selain itu, salah satu petuah yang bisa kita ambil dari Paulo Freire yakni kita harus mengkritisi cara hidup kita yang sekarang. Dengan melakukan hal ini, kita bisa melihat diri kita lebih dalam lagi. Apakah kegiatan yang kita lakukan sudah mendukung praktik pembebasan? Atau jangan-jangan, kegiatan kita malah memproduksi lebih dalam lagi jurang ketertindasan?

Merdeka Belajar ala Paulo Freire  Merdeka Belajar ala Paulo Freire Reviewed by David Aji Pangestu on 8/29/2021 08:00:00 AM Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.