Di banyak kota, Hari Buruh sepertinya memang menjadi agenda rutin tahunan yang selalu 'diperingati' secara cukup meriah. Mulai dari tuntutan atas nama serikat kerja, demonstrasi mahasiswa, hingga individu-individu yang menyuarakan keresahan dan aspirasinya di social media.
Yogyakarta, kota pelajar, kota wisata, dan banyak sebutan istimewa lainnya, juga ikut serta dalam panggung ini. Ketika tulisan ini diketik, setidaknya penulis mengetahui bahwa sedang berlangsung demonstrasi di sekitar Tugu Jogja dari serikat buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya yang menuntut beberapa hal terkait nasib para buruh. Mulai dari pencabutan UU Cipta Kerja, tuntutan kenaikan UMK, hingga pembangunan ekosistem industri kreatif yang perlu ditata ulang dan 'dirawat' dengan baik. Kota dengan UMK kecil ini memang mempunyai segudang pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
Sebagai mahasiswa semester 8 yang sebentar lagi mentas dari kota UMK kecil ini, aku terhitung dua kali mencicipi panggung buruh Yogyakarta di tempat kerja yang berbeda. Pertama, ketika akhir tahun 2022 di salah satu penerbitan buku anak yang ada di Bantul. Dan yang kedua, di studio foto yang letaknya tidak jauh dari Tugu Jogja. Refleksi dalam tulisan ini lebih berfokus pada pengalaman kedua karena memang pekerjaan ini baru berakhir sekitar sebulan lalu yaitu akhir Maret 2024. Alasan berhenti karena pengin fokus skripsi. Ya, selain capek aja karena pekerjaan bagi mahasiswa aktif sepertiku memang sangat jarang yang sesuai dengan besaran UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota).
Sebagai mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang juga belajar tentang kerja layak, aspek pertama yang sering tidak didapatkan oleh mahasiswa ketika bekerja paruh waktu adalah kontrak kerja yang ditandatangani/disepakati secara tertulis oleh kedua pihak. Di pekerjaanku yang terakhir ini, alhamdulillah ada kesepakatan tertulis, meskipun hanya terlampir di formulir pendaftaran. Jadi sebagai jaga-jaga, sudah aku screenshot jika ada yang tidak beres di kemudian hari. So far, tidak ada masalah; jobdesc dan gaji diterima dengan baik (tepat waktu).
Meskipun begitu, sebenarnya ada yang sedikit mengganjal di pikiranku. Selama bekerja di studio tersebut, aku digaji sebesar Rp7.500 per jam. Itu artinya, jika aku bekerja selama 5 hari dari jam 9 hingga 4 sore dalam seminggu dengan asumsi satu bulan pas 4 minggu, maka gaji yang aku dapatkan hanya Rp1.050.000. Padahal, jam kerjanya tidak jauh beda dengan pekerjaan penuh waktu (hanya selisih satu jam per hari), tetapi gaji yang didapatkan jauh lebih sedikit. Sayangnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena merasa tidak memiliki posisi tawar.
Jadi semacam,
"Mau negosiasi gaji kayaknya juga nggak bisa deh. Karyawan lama aja kayaknya dari dulu juga segini. Kalau aku maunya lebih, si bos malah nyari yang lain. Padahal aku juga lagi butuh duit."
Jadi, mau tidak mau harus terima dengan gaji dengan nominal tersebut. Dan kalau mau sambat pun, di Yogyakarta sendiri masih banyak pekerja paruh waktu yang mendapatkan gaji jauh di bawahku. Pernah ketika mencari loker, aku menemukan informasi pekerjaan penjaga outlet minuman yang jika aku hitung, gajinya tidak sampai Rp 3.000 per jam. Pekerjaan dengan nominal di bawah Rp5.000 per jam di Yogyakarta cukup menjamur, atau malah dibilang hal yang dinormalisasi.
Dari pengalaman menjadi buruh di Yogyakarta ini, aku jadi tahu bahwa tidak semua pekerjaan itu digaji dengan layak—di Yogyakarta sekalipun yang katanya banyak orang terpelajar. Aku jadi semakin mengamini bahwa Jogja memang hanya cocok untuk tempat belajar, bukan mencari uang. Padahal, di Yogyakarta harga barang lebih tinggi dari Jember (kota asalku), tetapi gajinya lebih kecil beberapa ratus ribu.
Permasalahan gaji kecil yang tidak sesuai dengan UMK yang sudah kecil itu, setelah ku telisik memang ada celah karena ketentuan gaji yang harus minimal UMK mendapatkan pengecualian bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil. Pola yang aku amati adalah jam kerja dimaksimalkan sampai mirip dengan pekerja penuh waktu, tetapi regulasi mengenai gaji mengikuti mekanisme perhitungan gaji paruh waktu dan standar bagi pelaku Usaha Kecil dan Mikro (di bawah gaji minimum).
Penyedia lapangan pekerjaan tidak kalah cerdik. Sedangkan para buruh sepertiku mau tidak mau perlu mengikuti mekanisme itu agar tetap bisa makan di perantauan.
Jangankan bagi perantau yang memang mencari nafkah di Yogyakarta, bagi mahasiswa sekalipun yang kebutuhannya masih bisa di-press karena mayoritas untuk kebutuhan diri sendiri, Yogyakarta masih belum ramah. Maaf, kamu tidak istimewa, Yogyakarta.
Meskipun begitu, di pekerjaanku kemarin, aku masih sangat bisa bersyukur. Ya, lagi-lagi, karena aku hanya mahasiswa. Ruangan ber-AC dan komputer kantor yang bisa dipakai untuk nugas, cukup menjadi kompromiku untuk bisa tetap betah dan tidak terlalu berisik perihal uneg-uneg di atas. Aku sudah seperti warga lokal, nerimo ing pandum. Tapi memang masih ada ngedumel-nya.
Refleksi Hari Buruh: Pengalaman 4 Bulan Menjadi Pekerja Paruh Waktu di Yogyakarta
Reviewed by David Aji Pangestu
on
5/01/2024 05:15:00 PM
Rating:
Tidak ada komentar: