Part-time di Jogja adalah Jalan Pintas Menuju Perbudakan, Gaji Setengah UMR pun Nggak Ada!

Jalan Mailoboro, Kota Yogyakarta (unsplash.com)

Akhir tahun 2023, saya pernah di posisi butuh duit, tapi nggak mau kerja yang terlalu mikir. Soalnya, sudah keliyengan mikirin skripsi. Meskipun skripsi baiknya bukan hanya dipikirin, tapi dikerjain. Saat itu, satu-satunya ide paling realistis dan menjanjikan adalah bekerja secara paruh waktu atau umum disebut part-time. Definisi serampangannya adalah kayak orang kerja biasanya, tapi di jam yang lebih sedikit dan kontrak yang pendek. Umumnya beberapa bulan saja.

Akhir November 2023 adalah awal pencarian untuk mencari loker (lowongan pekerjaan) part-time yang sekiranya cocok untuk mahasiswa akhir. Saya fokuskan lokasinya kalau bisa di sekitar UGM. Sebisanya nyari yang nggak lebih dari 5 km dari kos.

Pilihannya sih banyak, tapi…

Jujur, saat itu untuk pertama kali saya dengan serius untuk mencari loker part-time. Sebelumnya, hanya iseng aja atau kebetulan ada yang lewat lewat di timeline Instagram. Namun, karena belum merasa butuh, dianggurin aja. Oh, tempat itu lagi ada loker. Gitu doang. Tapi sekarang berbeda. Urgent, bos. Mahasiswa akhir sepertinya memang ditakdirkan untuk dilema sudah malu minta orang tua, tapi sebetulnya banyak yang belum mampu menghidupi diri sendiri.

Langkah yang saya lakukan saat itu adalah nge-follow beberapa akun info loker dan info part-time yang ada di Jogja. Uniknya, mayoritas dari akun tersebut di-private. Entah kenapa, mungkin informasi loker tuh memang sangat berharga, ya? Jadi kayak, lu kalau butuh follow dulu, enak aja cuma mampir doang!

Selang beberapa waktu, akun-akun yang saya follow sudah acc permintaan saya. Akhirnya, bisa scrolling info loker dan mencari posisi impian (sebenarnya yang penting gaji oke sih). Namun, setelah beberapa hari, saya jadi sadar bahwa loker untuk laki-laki itu jauh lebih sedikit daripada loker untuk perempuan. Pasalnya, saat itu lagi banyak yang open posisi pramusaji, bagian admin, dan talent untuk live. Ketiganya mayoritas yang dicari adalah perempuan, atau setidaknya perempuan yang diutamakan.

Jadinya, selama seminggu, saya hanya menemukan beberapa loker yang bisa dilamar oleh laki-laki. Meskipun begitu, beberapa saya skip karena posisinya memang kurang sreg atau pun masalah gaji yang kelewat kecil.

Kerja full-time, gaji part-time

Sebelum ngomongin masalah gaji, entah dari kapan mulanya banyak bisnis-bisnis kecil yang di sekitaran kampus Jogja, terutama UGM, lebih suka merekrut karyawan part-time daripada full-time. Mungkin karena peminatnya banyak, jadi ya sudahlah semua karyawan statusnya part-time saja. Hal tersebut yang membuat saya geleng-geleng. Ternyata, memang banyak loker sekitar kampus yang meskipun karyawannya bekerja beberapa semester atau bahkan tahunan, tapi gajinya tetap dihitung sebagai seorang ­part-timer.

Fakta tersebut semakin saya sadari ketika mencari loker saat itu. Dari beberapa loker, banyak pekerjaan yang menuntut 5-6 hari kerja dengan jam kerja per harinya 6-8 jam, tetapi gajinya cuman setengah atau kurang dari UMR Jogja. Kenyataan ini juga sudah saya konfirmasi ke beberapa teman atau pun cerita yang pernah part-time di Jogja. Kerja di café misalnya, sebulan hanya dapat 800 ribu rupiah atau kurang, bukan jadi rahasia lagi di kalangan mahasiswa.

Pernah saya iseng ngitungin gaji part-timer penjaga kedai minuman (bentuknya sudah berupa bangunan kecil, bukan yang pakai stand jualan), jika dihitung per jamnya kurang dari 3.000 rupiah. Padahal, kalau pakai rumus gaji yang seharusnya, pekerja part-time di Jogja harusnya dapat sekitar 15.000 rupiah per hari. Jadi bisa dibilang, bukan lagi setengah dari UMR. Itung sendiri betapa kecilnya.

Meskipun begitu, karena memang dituntut kebutuhan dan harga pasarnya berkata seperti itu (perpaduan antara tingginya permintaan dan sedikitnya penawaran), maka loker part-time dengan judul perbudakan modern pun tetap ramai di kalangan mahasiswa. Termasuk saya yang pernah part-time selama kurang lebih 4 bulan. Ya meskipun, dibilang masih untung karena gaji nggak sekecil rincian yang barusan dan tempatnya juga enak karena ada PC yang bisa dipakai skripsian kalau pengunjung lagi sepi.

Mahasiswa Sudah Lebih Banyak Opsi

Meski part-time adalah salah satu pilihan realistis tanpa meninggalkan kewajiban kuliah, tetapi mahasiswa sekarang sebenarnya sudah lebih banyak opsi. Katakanlah kerja freelance mengerjakan project dari orang lain. Atau, bisa juga ikut magang melalui MBKM sekalian. Secara pendapatan, relatif lebih besar. Pengalaman dan relasi yang didapat juga lebih jelas. Ditambah lagi, biasanya juga bisa dikonversi ke nilai kuliah.

Bisa jadi, kalau mahasiswa sudah punya posisi tawar yang lebih baik, pekerja part-time di Jogja bisa diperlakukan dengan lebih layak. Asumsinya adalah mahasiswa terdistribusi di berbagai sektor dan mau nggak mau industri kecil sekitar kampus menaikkan benefit yang diberikan untuk menarik pekerja. Ya meskipun, saya juga agak pesimis. Soalnya Jogja itu dipenuhi hal istimewa. Banyak masalah yang bukannya selesai, malah makin rumit setiap tahunnya.

Sudahlah, KTP saya bukan Jogja.

***

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Terminal Mojok. Bisa cek di sini.

Part-time di Jogja adalah Jalan Pintas Menuju Perbudakan, Gaji Setengah UMR pun Nggak Ada! Part-time di Jogja adalah Jalan Pintas Menuju Perbudakan, Gaji Setengah UMR pun Nggak Ada! Reviewed by David Aji Pangestu on 11/18/2024 11:00:00 AM Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.