Pengalaman Menggunakan Produk Elektronik Eks-Jepang: Spesifikasi di Atas Angin, Hematnya Sampai Jutaan!
Fujitsu Lifebook U939 yang Tidak Dijual Resmi di Indonesia (YouTube diki septerian) |
Produk
elektronik merupakan salah satu barang yang harus dibeli secara teliti dan
hati-hati. Tidak boleh serampangan, apalagi hanya melihat dari kondisi
fisiknya. Pasalnya, banyak barang elektronik, terutama yang dijual dalam
kondisi bekas dengan tampilan luar yang memikat, tetapi bagian dalamnya sudah
tidak karuan. Pada saat seperti inilah kita dapat memakai ungkapan, “Don’t
judge book by its cover!”. Tampilan fisik tidak merepresentasikan secara
langsung kondisi dalamnya, dalam hal ini produk elektronik.
Atas
alasan tersebut, banyak orang lebih memilih barang baru daripada bekas untuk
produk elektronik. Alasannya sederhana: agar tidak rugi atau tertipu dengan
tampilan luar yang terlihat memukau. Tentunya, taktik semacam ini berlaku bagi
orang-orang yang punya budget memadai dan dikombinasikan dengan
ketidakmahiran dalam mengecek kondisi produk elektronik tertentu. Kalaupun kepepet,
orang-orang seperti ini akan beli barang bekas di toko offline yang
mempunyai gerai besar, dengan konsekuensi harga yang lebih melambung. Jadi
lebih hemat dan aman daripada beli baru. Namun, bagi saya, trik tersebut masih
belum cukup.
Produk
eks-Jepang terlalu menggiurkan
Sejak
usia SD, saya sudah terbiasa beli produk elektronik dengan kondisi bekas pakai,
terutama handphone. Jadi, “berpengalaman selama lebih dari 10 tahun
dalam jual-beli produk elektronik” dapat saya sematkan di profil LinkedIn, jika
memang itu berguna untuk karir profesional. Mulai dari handphone dengan
harga puluhan ribu, beberapa juta, hingga laptop satu jutaan sampai di atasnya,
pernah saya cicipi. Namun, dalam beberapa tahun ke belakang, ada satu kategori
produk yang sangat cocok bagi orang seperti saya yang mempunyai dompet
pas-pasan, yaitu produk elektronik eks-Jepang, atau sering disebut limbah
Jepang!
Secara
sederhana, limbah Jepang yang saya maksud di sini adalah produk-produk elektronik
dari Jepang yang masa pakainya sudah habis atau spesifikasinya ketinggalan
untuk menjalankan fungsi tertentu. Umumnya, limbah Jepang ini berasal dari
perusahaan bidang IT, perusahaan provider, maupun distributor smartphone.
Limbah
Jepang ini termasuk melimpah ketersediaannya, terutama smartphone karena
sistem pembelian di Jepang umumnya menggunakan mekanisme kontrak. Jadi, ketika
masa kontrak berakhir, unit smartphone tersebut dapat ditukar dengan
yang baru. Nah, unit yang lama umumnya sudah tidak lagi diminati karena sudah
dianggap ketinggalan zaman teknologinya, atau memiliki harga yang tidak jauh
berbeda jika mengambil unit keluaran lama maupun baru. Oleh sebab itu, banyak smartphone
yang baru keluar dua tahun lalu, tetapi dijual dengan harga miring karena
memang sudah tidak diminati lagi.
Smartphone
pertama saya yang dapat dikategorikan sebagai produk limbah Jepang adalah Sharp
Aquos yang dibeli pada tahun 2019. Saya lupa tipe persisnya, tetapi smartphone
tersebut bertahan dua tahun lebih sebelum batrenya nge-drop. Namun,
untuk smartphone dengan harga Rp750 ribu saja, itu sudah sangat worth
it. Bahkan, saya bisa katakan masih sangat bisa bersaing dengan smartphone
dua jutaan kala itu. Kamera jernih, multitasking oke banget. Intinya, untuk
kebutuhan dasar, sangat mumpuni.
Selain
itu, saya juga pernah memakai Sony XZ1 versi AU. Selama setahun lebih pemakaian,
tidak pernah rewel. Di tahun 2022, smartphone ini dapat dikatakan satu-satunya
yang bisa main game Genshin Impact bermodal 1,5 jutaan saja. Meskipun
nyatanya, smartphone ini nggak saya pakai buat nge-game. Saya
lebih sering memakainya untuk foto-foto dan ngonten di Instagram.
Pembelian
terakhir saya di tahun ini adalah laptop Fujitsu U939 yang saya beli sekitar
sebulan lalu. Laptop ini saya beli setelah laptop Asus
Celeron yang pernah saya jadikan tulisan itu, sudah sangat
menyebalkan keleletannya dan layarnya tiba-tiba rusak. Akhirnya, saya lebih
memilih untuk membeli laptop limbah Jepang yang dengan harga kurang dari 3
juta, sudah dapat prosesor Intel i7 generasi ke-8 dengan ram 8GB.
Meskipun
prosesornya terdengar agak tua, ini adalah peningkatan signifikan bagi saya
yang sebelumnya pengguna Intel Celeron. Saya berani bilang, dengan budget kurang
dari 3 juta ini, saya bisa menantang laptop Asus, HP, dan Acer dengan harga
baru 5-6 juta. Soalnya, setelah saya riset sana-sini, dengan harga dua kali si
Fujitsu, saya belum tentu bisa dapat spesifikasi laptop baru yang sepadan. Unit
yang saya dapat pun terbilang aman tanpa
kendala apapun. Layar tajam, keyboard ada backlight, sensor sidik
jari berfungsi, dan ada port thunderbolt. Terlalu sempurna untuk laptop
seharga 2,7 juta.
Kekurangan
limbah Jepang
Setelah
beberapa tahun mencicipi produk limbah Jepang, termasuk yang tidak saya
sebutkan di atas, bukan berarti produk-produk tersebut tanpa kekurangan. Dalam
hal penggunaan sehari-hari, salah satu deal breaker khususnya untuk
kategori smartphone adalah kapasitas baterai yang kecil jika dibanding
produk resmi milik brand-brand lain. Contohnya adalah Google Pixel 3A, smartphone
jadul keluaran 2019 yang saya jadikan daily driver sekarang ini,
setidaknya perlu tiga kali pengecasan dalam sehari.
Kekurangan
lain adalah sparepart yang cukup langka kalau mau beli secara offline.
Alhasil, memang harus beli secara online untuk sekadar beli baterai.
Merk dan tipe tertentu, bahkan jarang ada yang menjual baterai, taouchscreen,
maupun LCD-nya. Hal ini saya alami ketika menggunakan Sharp Aquos yang
sudah saya ceritakan sebelumnya.
Selain
itu, masalah klasik smartphone limbah Jepang adalah terkait IMEI. Salah satu
alasan smartphone-smartphone ini bisa murah karena biasanya memakai IMEI
palsu atau suntikan dari smartphone lain. Dalam kasu tertentu, IMEI
tersebut tidak dapat bertahan lama karena memang ilegal dalam penggunaannya.
Namun, saya tidak pernah mengalami masalah perihal ini. Baik Sony XZ1 maupun
Google Pixel 3A, keduanya tidak pernah rewel masalah IMEI meskipun sama-sama
pernah saya jadikan daily driver selama setahun lebih.
Ketakutan
saya saat ini adalah ketika si Fujitsu U939 yang baru saya pakai satu bulan ini
tiba-tiba rusak. Berbeda dengan merk resmi yang beredar di Indonesia, selain langka,
sparepart laptop ini juga tergolong lebih mahal. Namun, hal tersebut
juga sudah masuk pertimbangan ketika meminang laptop ajaib ini. Semoga laptop
tipis dengan bobot kurang dari 1 kg ini juga bakal bertahan lama.
Tetap
jadi pilihan terbaik untuk kaum budget pas-pasan
Terlepas dari beberapa kekurangan
tersebut, saya bisa menjamin kalau produk elektronik limbah Jepang masih sangat
worth it untuk dibeli. Tentunya, dengan konsekuensi-konsekuensi yang
sudah saya sebutkan di atas.
Selain itu, sebelum memutuskan untuk
membeli limbah Jepang, pastikan juga di mana kamu akan membelinya. Entah di marketplace,
maupun grup Facebook, tetaplah berhati-hati. Hari sial nggak ada yang tahu.
Meskipun saya selalu mengalami keberuntungan ketika membeli limbah Jepang,
bukan berarti itu tanpa strategi. Lebih aman lagi, kalau memang mau meminang
limbah Jepang, lebih baik yang IMEI-nya terdaftar dengan jelas. Kalau IMEI-nya
legal, pasti aman.
Ya, kecuali kalau kamu nggak
bermasalah sama unit wifi only. Eh, kan kita dari tadi ngomongin
Android, bukan iPhone. Peace!
***
Tulisan ini pernah dimuat di Terminal Mojok. Bisa cek di sini.
Tidak ada komentar: