Apakah Menikah Memang Semenakutkan Itu?

Daftar Isi

 

Photo by Casey Horner on Unsplash

Meskipun hari raya Idulfitri semacam hari kemenangan bagi seorang muslim, tetapi tidak semua dari mereka merasa menang dan tenang. Bagi sebagian orang, Idulfitri atau biasa orang sebut lebaran ini justru menjadi momok menakutkan. Pada momen ini, seseorang akan bertemu dengan tetangga dan saudara dengan intensitas tinggi. Seringnya, pertemuan tersebut disertai beberapa pertanyaan maut.

“Kapan lulus kuliahnya?

“Udah dapat kerja atau belum?

“Kapan nikah? Kan kerjaannya udah bagus nih,”

“Udah nikah 2 tahun, kapan punya momongan?”

Dan berbagai pertanyaan lainnya.

Saya dapat memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saking sibuk dengan aktivitas masing-masing, seringkali kita tidak tahu tentang perubahan orang lain. Momen lebaran ini adalah ajang untuk saudara dan tetangga menanyakan kabar—sekaligus mengonfirmasi banyak hal. Pada dasarnya, bertanya adalah salah satu bentuk dari kepedulian. Meskipun, terkadang pertanyaan yang terlontar hanya basa-basi maupun pertanyaan pembuka untuk membandingkan orang ditanyai dengan orang lain.

Hari pertama lebaran, seperti biasa, saya ikut menyambut tamu yang datang ke rumah. Kebetulan, tamu tersebut adalah tetangga sekaligus masih ada hubungan saudara dengan Bapak. Tamu tersebut mengeluhkan anak laki-lakinya yang sudah berumur 25 tahun, tetapi tidak kunjung menikah. Bapak saya menyarankan untuk mengajak ngobrol anak tersebut, mau dibantu carikan atau cari sendiri. Kasihan, biar ada yang mengurus. Kalau menikah pas masih muda, nanti kalau punya anak enak. Masih semangat dan ada tenaga buat kerja.

Saya diam saja. Keluhan tersebut sementara bukan untuk saya yang masih 23 tahun. Namun, 2 tahun lagi, mungkin akan banyak yang bertanya, kapan nikah? Atau pertanyaan sejenisnya. Saya jadi berpikir dalam diam. Apakah seseorang laki-laki menikah karena hanya ingin diurus oleh perempuan lain secara sah? Apakah kodrat utama seorang perempuan adalah mengurus suaminya? Siapa yang menentukan kodrat tersebut? Anak sekecil saya harus memikirkan tentang hakikat pernikahan.

Media Sosial dan Ketakutan untuk Menikah

Marriage is scary. Pernikahan itu menakutkan, sebuah ungkapan yang masih sering berseliweran di media sosial. Meskipun saya tidak ada intensi khusus untuk kepo dengan unggahan sejenis, beberapa kali masih lewat di berada. Umumnya, unggahan dengan judul atau topik tersebut merupakan seseorang yang tidak puas dengan pernikahan yang (pernah) mereka jalani atau konsep pernikahan yang ada di masyarakat secara umum. Entah itu suami yang tidak mau berbagi tugas dengan istri atau tidak menafkahi, harus menjadi ‘babu’ bagi suaminya seumur hidup, susahnya mengurus anak yang tantrum, menikah dengan orang yang tidak sesuai ekspektasi, dan sebagainya.

Saya tidak dapat menggeneralisasi alasan seseorang takut menikah. Tentunya, setiap orang punya alasan yang berbeda-beda. Selain itu, saya juga tidak punya bekal yang cukup tentang perbandingan persepsi seseorang di zaman sekarang dengan orang-orang pada 20 tahun lalu tentang pernikahan. Namun, yang jelas, media sosial mempunyai andil dalam menggaungkan pendapat-pendapat seseorang, termasuk pernikahan.

Ketakutan akan menikah yang dulunya hanya dialami seorang individu dan orang-orang terdekatnya, sekarang dapat dengan mudah dirasakan oleh orang banyak orang lain beriringan dengan cepatnya penyebaran informasi. “Menikah itu membuat diriku tidak bisa bebas. Aku seperti hidup di penjara”, boom, kutipan tersebut menyebar seperti peluru yang hilang kendali. Bedanya, ia tidak akan bisa berhenti.

Menikah dari Pandangan Orang Tua

Saya pernah bertanya kepada Ibu, bagaimana Bapak pada akhirnya melamar dan menikahinya? Lalu, Ibu saya menjawab bahwa Bapak tiba-tiba saja ke rumah. Beliau datang dengan salah seorang tetangga Ibu saya. Kata Ibu, Bapak mencari seorang yang dinikahi ke orang tersebut (yang merupakan teman Bapak) dan diarahkan untuk berkenalan dan meminang Ibu.

Sebagai masyarakat yang asing dengan konsep menikah dengan cara seperti ini, saya pun jadi banyak bertanya,

Apa yang membuat Bapak yakin dengan Ibu?

Apa yang membuat Ibu yakin untuk menerima Bapak?

Pertimbangan apa yang membuat keduanya yakin untuk melaksanakan pernikahan?

Dan banyak pertanyaan turunan lainnya.

Bagi saya yang hidup di era digital dan masyarakat yang semakin kompleks, memutuskan seseorang untuk dinikahi adalah keputusan sangat krusial. Bayangkan, dari sekian banyak orang di dunia, kita harus memilih salah satau yang paling pas untuk hidup bersama kita seumur hidup. Jika dulu pilihannya terbatas, sekarang seseorang dapat ‘memilih’ dengan siapa akan menikah karena diberikan sangat banyak pilihan melalui media sosial, meskipun tidak yakin orang yang dipilihnya akan memilihnya. Hehehe.

Pada akhir cerita, saya menemukan jawaban sederhana alasan Ibu saya menerima Bapak. Singkatnya, Bapak adalah orang yang dapat dipercaya (amanah) dan mempunyai agama yang cukup baik sebagai kepala keluarga. Dua hal tersebut juga yang menjadi pertimbangan Ibu dan Bapak ketika ada seseorang yang melamar kakak saya. Tidak kenal dengan orang tersebut, tetapi percaya dengan orang yang menjadi perantara atau penjamin.

Standar pernikahan yang tidak muluk-muluk dan tepat sasaran. Tidak seperti pendapat kebanyakan yang ada di TikTok. Nyatanya, meskipun hidup dengan sederhana, keluarga kami baik-baik saja. Minim konflik dan cenderung bahagia.

Kesimpulan

Menikah itu tidak menakutkan kalau kita punya standar yang jelas dan menemukan pasangan yang tepat. Menikah akan menakutkan jika kita memilih seseorang hanya karena cinta atau terlalu lama pacaran, tetapi tidak melakukan screening dengan maksimal sebelum melaksanakan pernikahan. Pernikahan juga akan jadi sangat menakutkan ketika kita tidak dapat mengomunikasikan ekspektasi kepada calon pasangan atau hanya fokus pada pengharapan, tetapi lupa perihal memantaskan diri dan melakukan yang terbaik.

Apakah pernikahan memang benar-benar menakutkan? Pada akhirnya, hanya diri kita sendiri yang bisa menemukan jawabannya.


Posting Komentar