Menerima Diri Sendiri Tanpa Dikekang Gengsi

Daftar Isi

Illustration by pch.vector on Freepik

"Gampang, Bu. Ada beasiswa. SPP kuliah tidak perlu bayar, hidup bakal ditanggung negara. Paling tinggal tambah uang saku sedikit saja. Insyaallah uang kita cukup.”

Itu kalimat yang saya utarakan kepada Ibu ketika meminta izin untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Maklum, saya anak bungsu dan tidak ada satu pun kakak saya yang kuliah. Bahkan, kedua kakak perempuan tersebut hanya lulusan SMP. Jadi, bisa dibilang kedua orang tua tidak ada gambaran sedikit pun terkait kuliah. Takut mahal, takut nggak bisa membiayai.

Meskipun begitu, pada akhirnya saya diizinkan untuk melanjutkan kuliah. Namun, kedua orang tua pada awalnya juga kaget. Saya malah memilih kampus yang jauh dari kota asal, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Beda provinsi. Padahal, tidak ada pengalaman merantau. Bagaimana kalau acara kumpulan wali murid? Itu pertanyaan klasik dari Bapak. Ketika lulus SMP, saya urung masuk SMK pilihan karena alasan jarak yang agak jauh. Takut ribet kalau ada acara kumpulan wali murid. Soalnya, Ibu saya sibuk jualan sayur keliling dan Bapak saya harus merawat kambing di rumah. Apalagi ini, Jember—Jogja. Sepuluh jam perjalanan kalau naik kereta.

"Tenang, Pak. Nggak ada acara kumpul-kumpul begitu. Bapak sama Ibu ke kampus pas wisuda aja nanti."

Singkat cerita, saya diterima kuliah di UGM. Meskipun terhalang Covid-19 yang membuat kegiatan perkuliahan ditunda beberapa semester, akhirnya saya bisa bertemu dengan mahasiswa lain melalui acara kepanitiaan tingkat universitas. Ya, saya beruntung di tahun pertama kuliah sudah memiliki relasi antar jurusan dan fakultas. Bahkan, sudah bisa berinteraksi dengan dosen yang memiliki jabatan di kampus.

Sayangnya, dari pertemuan dengan mahasiswa lain, saya merasakan gap (jarak) yang sangat terasa. Selain jauh lebih pintar dari saya yang berasal dari sekolah kecil di kabupaten, mayoritas teman saya memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Saya merasa kucel sendiri. Gaya berpakaian paling berantakan, kadang nggak nyambung juga ketika mengobrol karena banyak istilah yang belum saya pahami. Maklum, saya sangat ndeso. Pertama kali naik lift dan ekskalator saja ya ketika di Jogja. Bukan tidak ada di Jember (tempat kelahiran saya tidak se-pedalaman itu), tetapi karena anak rumahan aja. Alias nggak punya duit.

Meskipun begitu, gap yang ada tidak membuat saya langsung menyerah. Perlahan saya mulai mengejar 'ketertinggalan' tersebut. Belajar beradaptasi, tidak takut bertanya jika ada sesuatu yang kurang dipahami. Toh, mereka nggak pernah nge-judge aneh-aneh ketika saya tidak paham akan suatu hal. Bahkan, kadang saya mempertanyakan ketidakpemahaman saya dengan candaan agar tidak canggung. Apapun itu, pada dasarnya mereka adalah teman yang baik. Sayangnya, saya sendiri bukan pengambil keputusan yang baik.

Demi terlihat fit in dengan mahasiswa lain, saya memaksakan diri untuk membeli barang-barang yang seharusnya tidak terlalu urgent dibeli. Pertama, saya upgrade smartphone dengan memakai sistem paylater. Ini biar terlihat lebih keren dan up to date. Padahal, smartphone yang ada sebenarnya masih bisa dipakai. Setelahnya, saya semakin sering menggunakan fitur paylater tersebut sekaligus pinjaman daring karena dapat digunakan memenuhi keinginan meskipun kondisi dompet sedang tipis.

Pada akhirnya, saya merasakan fase kelimpungan untuk membayar cicilan setiap bulannya. Padahal, sebelumnya hidup saya baik-baik saja. Uang dari beasiswa dan pemberian orang tua selalu cukup. Namun, sekarang lebih besar pasak daripada tiang. Dengan dalih menutup gap dengan mahasiswa lain, saya mengubah keinginan pribadi seolah kebutuhan yang harus dipenuhi. Saya berusaha tampil di depan orang lain menggunakan ‘topeng’ yang dibayar dengan cicilan mencekik. Dosa riba pula. Hmm.

***

Terkadang, kita salah paham. Menganggap orang lain akan menilai kita wah ketika tampilan luar cukup menjanjikan. Padahal, seperti buku yang sampulnya bagus, ia hanya akan menarik dalam waktu sesaat. Penilaian sebenarnya adalah isi dari buku itu sendiri. Begitu pula individu menilai individu lainnya. Tampilan yang bagus hanya menyilaukan mata dalam sekejap. Setelahnya, kualitas dari dalam diri individu tersebut yang menentukan.

Ketika awal masa kuliah, saya juga sempat mengalami kesalahpahaman tersebut. Saya mengira dengan membeli barang-barang yang lebih bagus untuk dipakai dan digunakan, itu akan meningkatkan kualitas pribadi secara signifikan. Ternyata tidak. Uang melayang (lebih tepatnya tagihan mencekik), sedangkan validasi tidak dapat didapatkan. Sial.

Dalam proses memperbaiki kesalahan tersebut, saya menyadari bahwa teman-teman di kepanitiaan tersebut mau berelasi baik dengan saya bukan karena status sosial, apalagi ekonomi. Mereka mau berteman karena saya memang layak menjadi teman, tanpa memandang latar belakang yang njelimet itu.

Bahkan, saya pernah bertanya ke salah satu teman dekat yang saya kenal dari kepanitiaan tersebut, “Mengapa mau berteman dengan saya?”. Jawabannya sederhana, meskipun saya jadi ge-er sekaligus tepok jidat.

“Di divisimu, kamu salah satu yang paling jago skills menulisnya. Kamu juga bisa mencairkan suasana divisi yang dicap kaku dan terlalu serius itu. Tapi kalau kamu tanya apakah kamu dulu kucel? Iya, emang. Sekarang udah lebih baik, tapi itu bukan jadi masalah kok.”

Sejak melewati fase tersebut, akhirnya saya bisa menerima diri sendiri dengan lebih baik. Dengan banyaknya gap yang saya miliki dengan mahasiswa lain, saya tetap bisa survive di perkuliahan. Mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah ini akhirnya mampu lulus dari UGM. Meskipun bukan yang paling pintar dan tidak memiliki segudang prestasi, saya bangga dan bahagia sudah tidak dikekang oleh gengsi lagi.

Saya tidak menjadikan kondisi minim privilese dan serba kekurangan sebagai hambatan untuk bisa bersaing. Toh, saya bisa survive sampai sejauh ini. Saya bahagia dengan kondisi yang dimiliki.

Posting Komentar