Menemukan Kembali Gairah Membaca (Atau Bahkan Hidup) Pasca Novel Rapijali

Table of Contents
Buku yang saya baca beberapa bulan terakhir (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sejak menjelang pertengahan tahun 2025, semangat membaca saya rasanya mandek. Bahkan, menghilang. Tentu, bukan disebabkan satu faktor khusus, melainkan banyak faktor yang saling berhubungan. 

Entah itu 'krisis ekonomi' yang dialami keluarga di pertengahan tahun, lingkungan kerja yang sepenuhnya baru, dan saya yang sedang mencoba 'hobi' lainnya.

Akan tetapi, sejauh apapun saya mengasingkan diri dengan dunia literasi, rasanya saya pasti akan kembali. Meski sempat bilang jenuh sekalipun, pada akhirnya saya akan kembali membaca. Kembali menulis, setidaknya melalui artikel singkat seperti ini.

Periode Kekosongan

Pernah merasa hidup gitu-gitu aja, tanpa perkembangan, tidak ada gairah, tetapi hidup terus menuntut kita untuk terus bekerja (dan tentunya terus 'hidup')? Mungkin, itu yang saya rasakan sejak Agustus 2025.

Gaji sudah lumayan, rekan kerja ya... tidak ada yang perlu dikeluhkan mati-matian, keluarga juga sehat semua, tetapi rasanya... kosong. Pulang kerja, punya waktu luang, tetapi tidak tahu harus ngapain. Atau, lebih tepatnya, tahu harus ngapain, tetapi punya cukup semangat untuk melakukannya.

Hidup seperti itu rasanya sangat berat. Bahkan, lebih berat daripada masa-masa kuliah yang harus berhemat uang 30 ribu untuk satu minggu. Pikirkan secara logika, bagaimna caranya?

Di titik ini, meski otak dan tubuh yang sulit fokus, saya terus mengusahakan untuk membaca, menulis diary, iseng-iseng bikin konten, meskipun rasa tidak bergairah itu tidak kunjung hilang. Entah mengapa dan bagaimana mengatasinya?

Pencerahan

Barangkali, saya merasa tidak semangat menjalani hidup karena tidak terhubung dengan orang-orang terdekat. Jika ada masalah, cenderung dipendam sendiri. Seolah manusia super yang bisa menyelesaikan segala permasalahan. Padahal, superhero pun perlu bantuan orang lain, sih.

Ini semakin saya sadari ketika hubungan dengan orang terdekat sempat memburuk. Saya sok jagoan, merasa bisa mengatasi semuanya sendiri. Akibatnya, orang terdekat jadi kena imbasnya.

Perlahan, saya menyadari, berusaha memahami kondisi, bahwa saya tidak sepenuhnya sendiri. Ada orang-orang yang sayang dengan saya, ada teman yang benar-benar peduli, bahkan ada orang asing yang mungkin mengagumi saya beserta karya-karya yang dihasilkan dari kejauhan.

Mengapa di dunia yang amat luas ini, saya harus merasa kesepian?

Keterhubungan

Saya tumbuh di keluarga yang kurang ada interaksi intim satu sama lain. Saya adalah tipe anak yang bingung harus ngomong apa ketika di telepon. Maka dari itu, selama di perantauan, saya cukup jarang menelepon orang rumah. Satu kali seminggu sudah bagus. Soalnya, kadang satu bulan sekali pun belum tentu.

Entah mengapa, setelah membaca Rapijali, gairah bersosialisasi sedikit kembali menguat. Saya ingin lebih terhubung dengan sekitar. Dengan rekan kerja, teman dekat, hingga keluarga. Saya ingin membangun hubungan dengan orang yang biasanya terhubung secara asal-asalan dengan mereka.

So, apa-apa sendiri membuat saya merasa baik-baik saja utuk menghadapi semuanya. Padahal, keterhubungan, terkadang memang sebuah kunci. Kunci untuk menghadapi hari-hari yang berat. Kunci untuk tetap bertahan meski terkadang memang enggan.

Konklusi

Kehidupan Ping dalam novel Rapijali membuat saya ingin mengeksplorasi diri lebih jauh. Saya ingin menikmati pantai, ikut perlombaan, mengobrol dengan teman dekat, hingga memberanikan diri untuk mengikuti hal-hal di luar kebiasaan.

Kita harus berani. Saya harus berani. Menghadapi hari dengan tegap, meski kadang perasaan memaksa kita untuk terus merunduk. Terima kasih Dee Lestari dan para content creator yang terus menginspirasi. Teruslah menjadi api kecil yang ikut menghidup hari-hari nan membosankan seluruh orang di dunia.

Posting Komentar